Penanda Waktu Salat Dengan Menabuh Kentongan: Pandangan Keagamaan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Dalam Naskah Ḥukm Al-Nāqūs
DOI:
https://doi.org/10.33656/manuskripta.v14i1.13Keywords:
Kentongan, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Ḥukm al-Nāqūs, Manuscript, Fatwa, NaskahAbstract
Beating kentongan is a Javanese tradition that has existed for a long time. Functioning as a non-verbal communication tool, one of the kentongan is a time marker, including prayer times. Because it is related to Islamic religious activities, some scholars also study it from the point of view of Islamic law (fiqh). From here, then emerged two different views. Some judge forbidden, some others permissible. Among some existing scholars, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (d. 1926) views haram with a fairly critical analysis. Firmly, this professor at Haramain said that hitting the kentongan as a marker of prayer time was equivalent to publicizing the evil that had become a tradition of the infidels. Apart from that, he emphasized that as far as he has observed, there has not been a single representative cleric who has permitted this practice. Even though it is forbidden, Ahmad Khatib's moderate attitude does not make the perpetrators infidel as some scholars do. This paper will discuss the views of this great teacher of Nusantara scholars from Minangkabau regarding the law of beating kentongan as a marker of prayer time in the perspective of Islamic philology, history, and law originating from the Ḥukm al-Nāqūs manuscript.
===
Menabuh kentongan merupakan tradisi masyarakat Jawa yang sudah ada sejak lama. Berfungsi sebagai alat komunikasi nonverbal, kentongan salah satunya menjadi penanda waktu, termasuk waktu salat. Karena berkaitan dengan aktivitas keagamaan Islam, sejumlah ulama pun mengkajinya dari sudut pandang hukum Islam (fikih). Dari sini kemudian muncul dua pandangan yang berbeda. Sebagian menghukumi haram, sebagian yang lain boleh. Dari sejumlah ulama yang ada, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1926) memiliki pandangan haram dangan analisa yang cukup kritis. Dengan tegas, guru besar di Haramain ini mengatakan memukul kentongan sebagai penanda waktu salat sama saja mempublikasikan kemungkaran yang sudah menjadi tradisi orang kafir. Selain itu, ia menegaskan sejauh pengamatannya belum ada satu ulama representatif pun yang membolehkan praktik ini. Kendati mengharamkan, sikap moderat Ahmad Khatib membuatnya tidak mengkafirkan pelakunya sebagaimana sebagian dilakukan sebagian ulama. Makalah ini akan membahas pandangan maha guru ulama Nusantara asal Minangkabau ini tentang hukum menabuh kentongan sebagai penanda waktu salat dalam perspektif filologi, sejarah, dan hukum Islam yang bersumber dari naskah Ḥukm al-Nāqūs.
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
License
Copyright (c) 2024 Manuskripta

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.